Kenapa Fisika?

Hai pembaca!

Di saat aku menulis postingan ini, seharusnya aku sedang sibuk-sibuknya menulis paragraf demi paragraf bab hasil dan pembahasan dalam skripsiku. Skripsiku yang tak kunjung rampung, padahal berbagai cara sudah coba aku tempuh, mulai dari bertapa di Gunung Gede, muterin Tugu Kujang tujuh keliling, sampai merengek-rengek minta doraemon agar meminjamkan alat penyelesai skripsi dari kantong ajaibnya.
Aku sebenarnya bukan orang yang malas; hanya saja kurang motivasi, haha!
Saat ini aku sudah memasuki semester sembilan, yang mana seharusnya jenjang S-1 idealnya hanya sampai semester delapan. Nampaknya terlalu banyak memori yang tersimpan di setiap sudut kampus hingga aku masih betah berada di sini, begitukah? Haha, tentu tidak.

Fisika.
Kata yang selalu membuat lawan bicaraku bergidik ngeri setiap kali mereka bertanya dimana aku kuliah? Ambil jurusan apa?
Tak jarang juga aku diledeki orang gila, wong edan, setelah aku menjawab dengan satu kata itu.
"Kok mau sih ngambil fisika?"
"Lo mikir apa sih dulu pas daftar kuliah?"
"Hebat euy! Ngeri ngeri ngeri!"
Sekiranya begitulah respon orang-orang saat mengetahui aku adalah mahasiswa fisika.

Sebenarnya aku tak terlalu suka fisika. Jangan bayangkan aku adalah nerd yang kemana-mana bawa buku, pake kacamata, lalu setiap kali ngobrol bahasannya gelombang gravitasi, schroedinger, temuan NASA, dan hal-hal mencekam sejenisnya. BIG NO! Aku jauh dari penggambaran itu.
Aku juga sebenarnya bukan orang yang tertarik dan penuh rasa ingin tahu terhadap apa-apa yang terjadi di alam. Mengapa air mengalami anomali pada suhu 4 derajat celcius? Mengapa warna langit biru? Mengapa kapal laut tidak tenggelam sedangkan batu sekepalan tangan dapat tenggelam dalam hitungan detik? Aku tidak tertarik untuk mencari tahu apa jawaban dari itu semua, padahal rasa ingin tahu adalah hal yang sudah seharusnya ada dalam diri seseorang yang memilih sains sebagai ilmu yang didalaminya di perguruan tinggi.

Lantas mengapa aku memilih fisika?
Jadi begini.
Bermula dari aku yang pada saat itu duduk di kelas 12, merasa pesimis dapat melanjutkan kuliah karena faktor ekonomi, padahal setiap tahunnya aku selalu menjadi juara umum (maaf, tak bermaksud sombong, haha). Ayahku hanyalah buruh tambang yang penghasilannya tak tetap. Ada rezeki untuk makan saja sudah syukur. Sedangkan ibuku hanyalah ibu rumah tangga. Boro-boro punya uang untuk membiayai aku kuliah; bayar hutang di warung saja susah.
Hingga suatu hari, aku dan beberapa temanku yang dikenal berprestasi di kelas, diutus untuk mengikuti sosialisasi beasiswa yang diadakan oleh salah satu lembaga pemerintah yang berfokus di bidang penelitian, BATAN (Badan Tenaga Nuklir Nasional).
Pada saat itu BATAN sedang menggencarkan pembangunan PLTN di daerahku, Bangka Belitung, dengan membangun tapak-tapak di beberapa area. Sebagai timbal baliknya, lembaga tersebut memberikan beasiswa penuh kepada anak-anak berprestasi di daerah kami selama jenjang perguruan tinggi.
Selama sosialisasi, dijelaskan bahwa ada beberapa tahap seleksi nantinya, dari mulai tes akademik, psikotes, hingga wawancara. Jika aku berhasil lolos melewati sederetan tes tersebut, selama 4.5 tahun kuliahku akan dibiayai dan juga uang saku akan diberikan tiap bulannya.
Dari situ aku mulai menemukan sebuah titik terang. Entah mengapa aku merasa optimis. Aku merasa aku harus mengikuti seleksi beasiswa tersebut dan aku yakin aku pasti bisa.
Karena BATAN sendiri merupakan lembaga yang berfokus di bidang nuklir, maka jurusan yang ditawarkan dalam program beasiswa tersebut adalah jurusan fisika di beberapa PTN ternama seperti UI, ITB, UGM, dan IPB. Mengingat aku dari dulu memang menyukai pelajaran eksak seperti matematika dan fisika, maka aku merasa itu bukanlah tantangan yang terlalu berat. Aku yakin aku bisa survive di jurusan fisika nantinya. Toh selama ini juga aku suka pelajaran fisika fikirku.

Setelah melewati beberapa tahap seleksi, akhirnya aku berhasil mengalahkan 500 lebih peserta dan lolos sebagai penerima beasiswa. Singkat cerita, setelah sempat jatuh bangun karena ditolak SNMPTN, aku lulus SBMPTN di Fisika IPB.
Namun setelah menduduki bangku kuliah, terlebih di tingkat dua, aku terkejut karena fisika yang ku pelajari di perguruan tinggi jauh berbeda dengan apa yang ku ketahui di SMA. Jauh lebih abstrak, jauh lebih rumit, dan jauh lebih sulit dipahami dibandingkan fisika di SMA yang hanya tinggal memasukkan angka-angka ke dalam rumus.
Nilaiku memuaskan, namun itu hanya karena aku jago menghafal. Sedangkan aku sendiri tak mengerti apa yang sebenarnya aku hafalkan. Begitu ujian selesai coba saja tanya aku lagi mengenai materi yang beberapa jam lalu aku hafalkan. Tak kan ada yang aku ingat!
Ilmu fisika yang aku terima beberapa pekan, beberapa bulan, beberapa semester, bahkan beberapa tahun lamanya, menguap begitu saja. Entah tercecer di jalan menuju pulang ke kosan atau kemana perginya. Yang jelas fisika tak ada di dalam kepalaku, pun dalam diriku.

Hal yang paling aku sesali adalah: aku baru meyadari tempatku bukan di sini setelah aku berada di tingkat akhir seperti sekarang ini. Aku baru menyadari bahwa fisika bukan tempat aku seharusnya berada. Passionku bukan di sini. Aku seharusnya dapat lebih memaksimalkan potensi yang memang sudah ada dalam diriku di tempat lain, seperti di Desain Komunikasi dan Visual misalnya berhubung aku suka menggambar dan menekuni digital art; atau sastra jepang karena dari SMP aku adalah wibu yang menyukai segala hal berbau negeri bunga sakura tersebut, pun dalam sehari-hari aku selalu mencampur-adukkan bahasa Indonesia dan bahasa Jepang secara reflek; atau mungkin seharusnya aku ada di jurusan Psikologi, jurusan yang sebenarnya aku cita-citakan dari semasa SMP, namun ditentang ibuku karena katanya "di Belitung mau jadi apa?"; atau bahkan harusnya aku ada di Ilmu Komputer, karena teman-temanku pun mengakui bahwa otakku encer di beberapa matkul yang mempelajari tentang pengkodingan atau pemrograman, dan ya, aku memang menyukainya.

Namun di samping perasaanku yang selalu merutuki keputusanku mengambil fisika, aku selalu mengingatkan diriku bahwa ada banyak hal yang harus aku syukuri karena Allah akhirnya menempatkanku di sini. Allah tentunya sudah punya skenario yang lebih baik dibandingkan apa yang menurut umatnya terbaik. Allah pasti punya alasan mengapa aku di sini.
Coba saja bayangkan jika aku mengambil jurusan-jurusan yang aku sebutkan sebelumnya seperti DKV, Sastra Jepang, Psikologi, Ilmu Komputer, mau biaya dari mana? Dan sekalipun aku kerja dan membiayai kuliahku sendiri, memang aku bisa menjamin hidupku senyaman sekarang ini? Tak perlu khawatir soal uang makan, dan alhamdulillah dapat menyisihkan uang jajanku untuk Ibu dan jajan sepupu-sepupuku di rumah. Jika aku tidak memilih fisika, apa aku bisa seperti itu?
Dan yang terpenting, yang sangat aku syukuri, jika aku tak memilih fisika, mungkin aku tak kan dipertemukan dengan orang-orang baik yang aku sayangi, sahabat-sahabatku, dan satu orang istimewa yang ingin sekali nantinya ku jadikan teman mengisi sisa hidup (anjay! cringe banget aing).

Ya intinya, dari ceritaku ini, yang mungkin berbelit-belit dan masih menggantungkan tanda tanya "jadi ini jalan ceritanya begimana sih"; aku hanya ingin mengingatkan terlebih untuk mahasiswa-mahasiswa yang bingung mengenai jati dirinya, tak ada yang namanya salah jurusan. Allah pasti punya alasan mengapa kita ditempatkan di sini. Jika memang kamu punya minat di bidang lain, silahkan kembangkan itu di sela-sela waktu luang. Jika nantinya setelah lulus kamu ingin kerja di bidang yang sama sekali tidak relevan dengan jurusan yang kamu ambil, silahkan. Jangan takut dicemooh. Jangan takut 4 tahunmu di perguruan tinggi menjadi tak berguna. Ambil contoh, seandainya aku nanti kerja di desain grafis atau multimedia, aku bisa bangga karena di samping aku mempunyai keahlian di bidang desain, aku juga punya keahlian dari bidang fisika yang aku bawa, semisal pemodelan menggunakan matlab atau semacamnya, yang tentunya orang lain tak punya itu.
So, jangan berlarut-larut merutuki kesalahanmu mengambil keputusan di masa lalu. Ambil sisi positifnya. Siapa tau hal yang menurutmu kesalahan, adalah pembuka jalan menuju kesuksesan di masa yang akan datang.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

#BukaBuku: "Three Days Of Happiness" by Miaki Sugaru

Gimana ceritanya keterima di Zeni? [Part 1]

Beda ya gapapa.