Bias Konfirmasi: bias yang tanpa sadar dilakuin sampai kita terbiasa.
Bias konfirmasi adalah suatu istilah dalam psikologi yang merujuk pada tindakan ketika seseorang hanya mencari dan menampilkan bukti yang sejalan dengan keyakinan, kepercayaan, ekspektasi, dan hipotesis yang dimiliki[1]. Kalimat tersebut merupakan pengertian bias konfirmasi atau confirmation bias menurut Raymond S. Nickerson dalam jurnalnya yang berjudul Confirmation Bias: A Ubiquitous Phenomenon in Many Guises. Kalau gue coba jelasin pakai kalimat gue sendiri, confirmation bias itu adalah hal yang terjadi ketika kita cuma nyari fakta atau bukti yang mendukung argumen kita doang. Padahal di luar fakta tersebut, ada banyak fakta-fakta lain yang nantinya akan mempengaruhi kebenaran hipotesis yang kita buat di awal.
Contoh,
kalau seorang pecandu rokok ditanya, apa alasan mereka merokok? Meski lo
jelasin panjang lebar kerugian merokok dari segi kesehatan bahkan segi
keuangan, besar kemungkinan mereka akan ngotot mencari pembelaan dan
menjabarkan hal-hal positif dari rokok–hasil searching di google
dengan kata kunci “manfaat rokok”. Ngga salah kalau lo mengatakan bahwa
merokok punya manfaat atau dampak positif bagi konsumennya selama hal tersebut
terbukti secara riset dan ada data valid yang mendukung. Yang bahaya adalah,
jika dari fakta tersebut, lantas lo ngambil kesimpulan bahwa rokok baik untuk
dikonsumsi. Ayo kita merokok, kawan! Lo mengabaikan bahwa rokok pun
punya sederet dampak negatif yang dapat merugikan tubuh. Simpulan lo jadi
sesat, kan?
Nah,
itu salah satu contoh dari confirmation bias. Hal tersebut terjadi
gara-gara kita cuma nyari fakta atau bukti yang mendukung argumen kita doang,
tapi tutup mata dengan fakta lain yang bahkan kontradiktif dengan argumen yang
kita yakini.
Contoh
lain dari confirmation bias yang pernah gue temukan adalah ketika gue
dan salah satu netizen di twitter berdebat soal plagiarisme film Squid Game.
Netizen tersebut, katakanlah si A, berpendapat bahwa Squid Game plagiat mampus
(si A beneran pake kosa kata tersebut di tweetnya anyway) karena
ngejiplak plot salah satu film Jepang bergenre sama. Kalau ga salah judul
filmnya “As The Gods Will”. Si A menilai Squid Game plagiat karena ada beberapa
scene yang mirip dengan scene di As The Gods Will. Jalan ceritanya juga di
beberapa menit awal terkesan sama. Setelah gue bandingin keduanya, memang di
beberapa menit awal terdapat plot cerita yang sama. Tapi secara keseluruhan,
cerita dari kedua film tersebut porsinya lebih banyak yang berbeda. Saat itu
gue bertanya ke si A, “emangnya batas suatu film dikatakan menjiplak itu kalo
scene yang samanya berapa persen dari durasi keseluruhan? Atau, adakah standar
yang jelas dan baku sehingga lu bener-bener bisa bilang ini plagiat?” Si
A nggak lagi menjawab. Terlepas dari itu, di kasus ini, si A mengalami confirmation
bias karena dia hanya menunjukkan bukti-bukti yang mendukung argumennya
saja, tetapi tidak menunjukkan bahwa ada juga bukti yang bertentangan dengan
argumen yang dia sebutkan di awal.
By
the way, gue ngejelasin
confirmation bias bukan berarti gue sendiri luput dari bias tersebut,
ya! Gue pun tentunya pernah, bahkan sering, mengalami hal tersebut. Gue curhat
dikit deh tentang hubungan gue dengan mas pacar. Jujur, gue adalah orang yang
punya insecurity cukup tinggi dan punya trust issue di dalam
hubungan. Tiap kali pacar gue lama bales chat, kalimatnya singkat, jarang
nelpon, bikin gue berasumsi bahwa dia bosen dan ga sayang lagi ama gue. Gue
yakin banget dengan asumsi gue tersebut, sehingga gue terus-terusan nyari
“celah” untuk membuktikan bahwa dia beneran bosen. Gue kumpulin tuh
bukti-buktinya dari mulai dia jarang chat; ga pernah bales-balesin mention gue
lagi di twitter; dalam seminggu selalu gue duluan yang nelpon, dan lain-lain.
Di situ gue mengalami confirmation bias karena gue hanya fokus nyari
bukti-bukti yang mendukung argumen gue doang, tapi gue abai dengan bukti-bukti
lain yang menentang seperti, dia tetap inisiatif ngajakin jalan di akhir pekan;
tetap nyempetin kasih gue afirmasi dan validasi ketika gue butuh; dan hal-hal
baik lainnya yang luput dari penilaian gue karena ya itu tadi, gue terlalu
fokus membenarkan argumen gue di awal.
Nah,
karena sekarang gue udah tau dan bisa menjelaskan apa itu confirmation bias,
harapannya, ke depannya gue gak lagi terjebak dalam bias tersebut. Apa yang
sekiranya akan gue lakukan? Langkah awal yang terpikirkan oleh gue saat ini
adalah, setiap kali gue punya argumen atau hipotesis yang gue yakini, yang akan
gue cari kebenarannya justru fakta yang bertentangan dengan hipotesis gue. Misalnya,
gue punya hipotesis bahwa tidur siang baik untuk kesehatan. Gue ingin
membuktikan itu sehingga gue bisa berdalih ketika emak gue ngomel sebab gue
tidur mulu. Ketika gue hendak memeriksa validitas hipotesis gue, yang mesti gue
cari justru adalah “bahaya tidur siang”. Sehingga gue tidak
berakhir di kesimpulan yang hanya mendukung argumentasi gue semata namun
menyesatkan karena tidak melibatkan fakta lain yang ada.
Referensi:
Komentar
Posting Komentar