Postingan

Menampilkan postingan dari Juni, 2020

#10 — Ruang Tunggu

Apa yang kau harapkan dari seseorang yang kau temui di ruang tunggu? Bukankah sudah jelas, dari nama tempatnya saja cukup menjelaskan bahwa ada seseorang yang begitu ia nanti kedatangannya? Begitu seseorang itu datang, ia akan menyambutnya, menggandengnya dan lantas mereka pulang. Tinggallah kau sendiri. Tapi sebentar..  kau sendiri, apa yang menuntunmu ke ruangan ini?  Bukankah kau ada di sini karena kau pun mempunyai seseorang yang kau tunggu?  Atau bahkan peranmu menjadi seseorang yang kedatangannya ditunggu, dan kau mencari seseorang yang hendak menjemputmu? Bukan begitu?  Akan sangat menggembirakan jika kenyataannya begitu.  Mungkin kau hanya perlu mencari sekali lagi di setiap sudut ruangan—seseorang yang menunggumu pulang. Semoga berhasil! Terima kasih telah berkenan menjadi teman berbincang.  Aku dan dia pamit pulang. 

#8 — Infinite Loop

Rasanya sudah lama aku tidak berbicara denganmu seperti ini. Selama sepekan ini, ada banyak hal yang ingin ku ceritakan. Yang sebenarnya juga mungkin kau sudah tahu. Kau ingat saat aku bercerita tentang interview pertamaku yang nyaris saja kukacaukan kemarin? Aku bahagia bukan main saat kau datang menyapa dan bersedia memasang kuping. Aku bahagia bukan main menyambutmu singgah kembali walau sebentar. Ada banyak hal yang ingin ku sampaikan, mengingat kesempatan untuk berbicara denganmu rasa-rasanya sama langkanya dengan kesempatan bisa makan di Ayam Cipo. Ada banyak kata yang berebutan minta diutarakan, minta dikeluarkan dari hati dan kepala, namun ujung-ujungnya aku hanya bisa berkata, "jangan lupa bahagia!" Ya gapapa sih. Seperti yang ku bilang di instagram saat itu, pada dasarnya inti dari semua do'aku adalah hanya ingin kau bahagia. Cukup itu yang kau dengar, sejatinya. Besoknya aku kembali menghubungimu saking girangnya aku mendapat kabar baik. Ternyata Mbak HRD-nya b

#7 — Tipe-ex

Yang ku takutkan selama ini ternyata benar, Bang. Ternyata aku hanya berlari. Ternyata aku tak benar-benar menginginkannya—si rumah dengan perapian dan cokelat panas yang ku ceritakan tempo hari. Bukan, aku bukan menyukainya. Aku BERUSAHA menyukainya, agar dapat melupakan perasaanku padamu. Nyatanya rasa ini masih utuh untukmu, Bang. Aku harap kau tak membaca tulisanku ini karena aku ingin kau hanya melihatku yang terus berpura-pura. Berpura-pura sudah lupa; berpura-pura sudah tak cinta. Dulu, jaman kita masih sekolah, jika ada kesalahan saat menulis, kita bisa menghapusnya menggunakan tipe-ex. Padahal alat itu sama sekali tidak menghapus. Ia hanya menutup, menambal, agar tulisan yang salah tak lagi terlihat. Aku merasa, masih mencintaimu adalah sebuah kesalahan. Kesalahan yang nantinya ku takutkan akan membuatmu benar-benar pergi. Maka dari itu, sebisa mungkin ku tutupi dengan kedok "berteman" agar sekadar bertegur sapa denganku, kau masih tetap nyaman. Maafkan aku yang masi

#6 — Jangan sampai dia dengar.

Sini! Kemarilah! Aku akan membisikkanmu sesuatu. Tapi janji ya, jangan beri tahu siapa-siapa. Janji? Ini mungkin akan sedikit mengejutkan tapi baiklah, akan ku katakan. Aku sedang menyukai seseorang. Hei, suaraku tidak terlalu keras, 'kan? Aku takut dia dengar. Apa? Kau penasaran siapa dia? Hmm.. Kau tahu karakter Spongebob? Si kuning yang selalu bersemangat dan tertawa seolah tak pernah ada masalah yang berarti di hidupnya. Mungkin itu penggambaran pertama yang dapat ku sematkan padanya. Bedanya, dia tidak berwarna kuning. Ya. Dia orang yang selalu bersemangat, dan yang ku sukai darinya, dia selalu menularkan semangat itu pada orang-orang di sekitarnya—termasuk aku yang pada saat itu dunianya gelap selepas hatiku patah. Dia orang yang punya banyak cinta pada genggamannya, dan selalu dengan sukarela membagikannya dengan tulus pada siapapun yang membutuhkannya—termasuk aku. Aku taksir, mungkin dia pun sama seperti Spongebob; selalu mengawali hari dengan "Aku siap! Aku siap!&quo

#5 — Aku si tokoh jahatnya.

Hai. Tulisan ini masih tentangmu. Tentang seseorang yang sekarang sudah menemukan rumah barunya. Entah kau sebut apa persinggahanmu kali ini. Rumah? Motel? Apartemen? Atau warnet yang selalu menjadi satu-satunya tempat pulang saat kau tak betah di rumah? Apapun itu. Aku mengambil kemungkinan terpahit untukku, bahwa kau telah menganggapnya rumah untuk sementara—ku harap sementara. Maaf kemarin aku meledak begitu saja saat mengetahui ada seseorang mengisi hari-harimu kini. Aku kecewa. Sedih. Marah. Tak terima. Kok bisa ya secepat itu aku tergantikan? Kok bisa ya hanya aku sendiri yang masih merawat dan menyiram rasa sayang ini agar tetap sama seperti saat kita masih bersama? Kok bisa ya begini? Kok bisa ya begitu?—seperti itu fikiranku kemarin, dipenuhi pertanyaan-pertanyaan "kok bisa?". Tapi setelah ku fikir lagi, itu sepenuhnya hakmu. Sudah dua bulan dan tentu saja kau butuh seseorang untuk kembali mewarnai hari-harimu. Awalnya aku berfikir, kenapa bukan aku? Aku masih bisa m