#6 — Jangan sampai dia dengar.

Sini! Kemarilah!
Aku akan membisikkanmu sesuatu.
Tapi janji ya, jangan beri tahu siapa-siapa. Janji?

Ini mungkin akan sedikit mengejutkan tapi baiklah, akan ku katakan.

Aku sedang menyukai seseorang.

Hei, suaraku tidak terlalu keras, 'kan? Aku takut dia dengar.
Apa? Kau penasaran siapa dia?

Hmm..
Kau tahu karakter Spongebob? Si kuning yang selalu bersemangat dan tertawa seolah tak pernah ada masalah yang berarti di hidupnya. Mungkin itu penggambaran pertama yang dapat ku sematkan padanya. Bedanya, dia tidak berwarna kuning. Ya. Dia orang yang selalu bersemangat, dan yang ku sukai darinya, dia selalu menularkan semangat itu pada orang-orang di sekitarnya—termasuk aku yang pada saat itu dunianya gelap selepas hatiku patah. Dia orang yang punya banyak cinta pada genggamannya, dan selalu dengan sukarela membagikannya dengan tulus pada siapapun yang membutuhkannya—termasuk aku. Aku taksir, mungkin dia pun sama seperti Spongebob; selalu mengawali hari dengan "Aku siap! Aku siap!" Hahaha.

Dia juga seperti tupai.
Seperti itulah ia di mata teman-temannya. Mungkin juga di mataku? Temannya bilang, dia senang melompat-lompat. Haha. Aku pun tak mengerti maksudnya apa, namun bisa ku bayangkan mengingat saat beberapa kali aku melihatnya di tahun-tahun pertama kuliah. Dia memang seriang itu dan semenyenangkan itu.

Apa?
Kau penasaran seperti apa wajahnya?
Hmm.. Tidak. Dia tidak tampan, menurutku. Namun, aku menyukai matanya. Senyumnya.
Kau ingin aku memberitahumu media sosialnya? Haha, untuk apa? Biarku tebak, kau ingin mencari fotonya dari situ? Sudahlah. Menyerahlah. Tidak banyak potret dirinya yang dia unggah di halamannya. Dia lebih senang mengamati sekitar dan mengapresiasi hal-hal di sekelilingnya. Hingga barangkali ia lupa mengapresiasi dirinya sendiri. Ia lupa bahwa dirinya semengagumkan itu untuk dipandangi.

Baiklah. Ku rasa aku telah sampai di titik dimana aku harus menjelaskan mengapa aku menyukainya. Aku pun merasa ini terlalu cepat, bahkan untuk sekadar kata suka. Mungkin aku hanya kagum. Nyaman.
Nyaman karena sedari awal dia ada di dekatku. Dia selalu menyalakan lilin namun aku terlambat menyadarinya karena terlalu banyak kabut gelap nan tebal menyelubungiku. Dia hangat. Dia rumah yang menyediakan perapian dan segelas cokelat panas. Namun hangatnya bukan hanya untukku. Aku rasa ada satu perempuan beruntung yang padanya telah ia tambatkan hatinya selama ini. Tak mengapa. Telah dibuat tersenyum kembali pun sudah lebih dari cukup bagiku.
Lagi pula, aku pun takut.
Takut jika ternyata aku hanya berlari.
Takut jika suatu hari kau kembali, aku masih menyambutmu dan meninggalkannya pergi. 
Sungguh, dia terlalu baik untuk ku perlakukan seperti itu.
Dia terlalu baik. Sangat baik.
Maka dari itu, biarlah aku dan dia tetap pada jarak yang seharusnya.
Agar tak ada lagi yang terluka.
Agar tak ada lagi yang patah.
Kalau dia patah, siapa yang akan menyembuhkan? Sedangkan selama ini dialah penyembuh orang-orang.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

#BukaBuku: "Three Days Of Happiness" by Miaki Sugaru

Gimana ceritanya keterima di Zeni? [Part 1]

#10 — Ruang Tunggu