#5 — Aku si tokoh jahatnya.

Hai.
Tulisan ini masih tentangmu. Tentang seseorang yang sekarang sudah menemukan rumah barunya. Entah kau sebut apa persinggahanmu kali ini. Rumah? Motel? Apartemen? Atau warnet yang selalu menjadi satu-satunya tempat pulang saat kau tak betah di rumah? Apapun itu. Aku mengambil kemungkinan terpahit untukku, bahwa kau telah menganggapnya rumah untuk sementara—ku harap sementara.
Maaf kemarin aku meledak begitu saja saat mengetahui ada seseorang mengisi hari-harimu kini. Aku kecewa. Sedih. Marah. Tak terima. Kok bisa ya secepat itu aku tergantikan? Kok bisa ya hanya aku sendiri yang masih merawat dan menyiram rasa sayang ini agar tetap sama seperti saat kita masih bersama? Kok bisa ya begini? Kok bisa ya begitu?—seperti itu fikiranku kemarin, dipenuhi pertanyaan-pertanyaan "kok bisa?". Tapi setelah ku fikir lagi, itu sepenuhnya hakmu. Sudah dua bulan dan tentu saja kau butuh seseorang untuk kembali mewarnai hari-harimu. Awalnya aku berfikir, kenapa bukan aku? Aku masih bisa memberimu warna, bukan? Tapi pertanyaanku terjawab sendiri. Aku hanya bisa memberimu warna kelam selama ini, bukan begitu? Aku mengerti, mencari penggantiku adalah sepenuhnya hakmu dan memang itu yang seharusnya dilakukan. Apa yang mau diharapkan dari hubungan yang sudah berserakan? Tapi entah mengapa, sampai detik ini, sampai detik aku menuliskan tulisan ini, bahkan sampai detik kau membaca tulisan ini, dan kau baca lagi, kau baca lagi hingga berpuluh-puluh kali, aku masih tetap berharap kau pulang.

Masih ingat pesan balasanku yang berbunyi, "Aku tak pernah membencimu. I'm happy for you." dan "You can count on me like we used to be"? Ketahuilah bahwa aku tulus ketika menuliskan itu semua. Meski sulit, aku berusaha turut bahagia mengetahui kau bahagia, meski bukan denganku. Meski sulit, aku akan terus menjadi teman baikmu. Menjadi pendengarmu. Memasang kuping saat kau ingin bercerita tentang kebiasaan-kebiasaan barumu dengan kekasihmu yang baru. Memasang kuping saat kau ingin bercerita bahwa kau tiba-tiba merindukan dia yang datang dari masa lalu, jauh sebelum kau mengenalku. Aku siap menjadi sahabat baikmu. Datanglah kapanpun kau butuh didengarkan, ya. Aku selalu menunggumu pulang—tidak—singgah kembali meski bukan untuk menetap. Aku selalu di sini membuka pintu.

Aku tak yakin kau masih tetap membaca hingga paragraf ini. Karena aku tahu kau benci tulisan-tulisan panjang tanpa gambar, bukan? Hehe. Maaf. Aku hanya bisa mengabadikanmu dengan cara seperti ini. Beberapa orang senang saat mereka menjadi tokoh utama dalam sebuah cerita, tapi sepertinya kau tidak. Tapi biarlah. Aku senang mengenang dan mengabadikanmu dengan cara seperti ini. Maaf aku hanya bisa menghadiahimu tulisan. Tidak seperti rumah barumu yang menyukai game sama sepertimu dan menuliskan "Game Addict" di bio sosial medianya. Menyenangkan ya pasti menemukan seseorang yang sefrekuensi denganmu? Seseorang yang selama ini kau cari. Seseorang yang memiliki apa yang tidak ku miliki. Selamat, ya. Aku berbahagia untukmu, meski berat.

Setelah ini, mau 'kan tetap bertemu denganku sebagai seorang sahabat? Janji?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

#BukaBuku: "Three Days Of Happiness" by Miaki Sugaru

Gimana ceritanya keterima di Zeni? [Part 1]

#10 — Ruang Tunggu