#8 — Infinite Loop

Rasanya sudah lama aku tidak berbicara denganmu seperti ini. Selama sepekan ini, ada banyak hal yang ingin ku ceritakan. Yang sebenarnya juga mungkin kau sudah tahu. Kau ingat saat aku bercerita tentang interview pertamaku yang nyaris saja kukacaukan kemarin? Aku bahagia bukan main saat kau datang menyapa dan bersedia memasang kuping. Aku bahagia bukan main menyambutmu singgah kembali walau sebentar. Ada banyak hal yang ingin ku sampaikan, mengingat kesempatan untuk berbicara denganmu rasa-rasanya sama langkanya dengan kesempatan bisa makan di Ayam Cipo. Ada banyak kata yang berebutan minta diutarakan, minta dikeluarkan dari hati dan kepala, namun ujung-ujungnya aku hanya bisa berkata, "jangan lupa bahagia!" Ya gapapa sih. Seperti yang ku bilang di instagram saat itu, pada dasarnya inti dari semua do'aku adalah hanya ingin kau bahagia. Cukup itu yang kau dengar, sejatinya.

Besoknya aku kembali menghubungimu saking girangnya aku mendapat kabar baik. Ternyata Mbak HRD-nya baik sekali. Dia meloloskanku ke tahap selanjutnya. Aku spontan menghubungimu. Entah kenapa kau masih menjadi orang pertama yang selalu ku cari saat aku mendapat kabar baik ataupun buruk. Bahkan bukan mama, bukan. Kau masih orang pertama dan satu-satunya yang aku cari.

"Yeay dilolosin ternyata!"

Setelah aku mengetik pesan itu, ku tekan tombol Kirim tanpa berfikir dua kali. Setelahnya aku malu setengah mati. Tak berharap mendapat balasan dan tahu sebenarnya apa yang terjadi denganku sudah bukan menjadi urusanmu lagi. Namun aku kaget dan bahagia setengah mati saat tak sampai 5 menit kau langsung membalas pesanku.

"Terbaik bu guruku."

Kau tahu, Bang? Jika aku harus membayar hanya untuk satu kalimat tersebut darimu, aku akan membayarnya meski harus menghabiskan semua sisa materi yang ku miliki. Seberharga itu. Kau bisa bayangkan betapa bahagianya aku saat itu? Memperoleh dua hadiah sekaligus. Dari Mbak HRD dan dari dirimu. Kemudian setelah itu kau mengirimkan satu pesan yang sangat berarti untukku. Satu kalimat yang menguatkanku hingga detik ini.

"Setidaknya do'aku didengar."

Begitu katamu setelah menerima kabar bahwa aku lolos interview. Sepenggal kalimat itulah yang membuatku kuat, yang menjadi penyemangatku mengingat seberat apapun hari yang akan kulalui. Bahagia sekali rasanya mengetahui bahwa orang yang selalu kudo'akan ternyata juga mendo'akanku. Semoga kau juga merasakan hal yang sama karena aku tak pernah absen mendoakanmu di lima waktuku. Aku selalu berdo'a agar kau bahagia, Bang. Tolong dikabulkan, ya. Tolong berbahagialah.

Omong-omong, aku optimis dengan pekerjaan yang kulamar kali ini. Aku sudah sampai tahap microteaching. Tinggal menunggu kabar apakah aku lolos atau tidak. Do'akan aku ya, Bang. Kalau nanti aku diterima kerja di EdTech tersebut, berarti aku pindah domisili ke Tebet, Jakarta Selatan. Berarti aku harus cari kosan kesana-sini. Sendirian kaya bocah ilang, haha. Yaudah, gapapa. Mungkin akan sulit harus berjuang sendiri di tempat yang benar-benar asing untukku, namun tak usah khawatir. Aku pasti bisa.

Oh iya, bagaimana denganmu? Sepertinya kau sudah tak lagi dengan rumah barumu yang pernah ku singgung di tulisanku sebelumnya? Katanya kau masih dibayangi masa lalumu? Kenapa? Pasti ini tentang si dia yang menemanimu sebelum aku itu, ya? Kau masih belum bisa melupakannya, kah? Hm, tak apa, Bang. Seperti yang ku katakan, dan kau pun menyetujui dengan pasti, perihal menghilangkan perasaan yang pernah ada memang tak pernah mudah. Saat ini pun aku sedang merasakannya. Wajar saja jika kau pun masih belum bisa lupa tentang dia. Tapi Bang, semalam aku mimpi. Mimpi bahwa ada perempuan baru lagi di sampingmu. Kali ini jauh lebih baik dariku. Mimpi itu terasa sangat nyata untuk sekadar jadi mimpi. Entah sebuah pertanda atau apa. Karena aku tahu, kau tak pernah bisa sendirian, bukan? Kau selalu mencari dan mencari seseorang yang bisa menemanimu dan mengusir rasa sepimu barang sekejap. Gapapa. Lakukan sesukamu, Bang. Ingat permintaanku di awal. Tolong bahagia, ya. Asal tetap hati-hati. Jika lukamu belum sembuh, kau hanya akan menambah luka baru di hati seseorang. Sembuhkan dulu dirimu ya, Bang.

Aku sendiri tak tahu mau sampai kapan aku begini. Enggan membuka hati pada siapapun selain dirimu. Enggan melupakan semua tentangmu. Bukan tak bisa, tapi tak mau. Entah kenapa rasanya aku masih ingin setia walau di antara kita sudah tidak ada lagi ikatan apa-apa. Seperti anak anjing yang menunggu pemiliknya pulang. Padahal aku tahu, mungkin saja kau tak akan pernah pulang.

—Bandung, 22/6/20

Komentar

Postingan populer dari blog ini

#BukaBuku: "Three Days Of Happiness" by Miaki Sugaru

Gimana ceritanya keterima di Zeni? [Part 1]

Beda ya gapapa.