#11

Sampai detik ini, rasanya masih banyak kata yang tercekat di ujung lidahku. Ingin kuutarakan namun percuma. Rasa-rasanya kau tak kan peduli. Kau tak ingin lagi mendengar. Surel yang terakhir kukirim pun hanya berakhir dengan pengabaian. Aku mencurahkan apa saja yang sekiranya kupendam, dengan bahasa yang sepertinya sulit dimengerti, bahkan olehku sendiri. Perasaanku padamu saat ini terlampau rumit hingga aku tak menemukan pilihan kata yang tepat untuk menggambarkannya. Intinya aku masih rindu kamu, sangat. Tapi aku takut kita berdua lagi-lagi nantinya hanya akan menyakiti satu sama lain. Aku dengan ego dan emosiku; kau dengan bayang-bayang masa lalumu yang membuatku merasa bahwa aku hanya pelarianmu semata, bahkan setelah satu tahun lamanya. Perihal kesibukanmu yang menyita waktu, itu tak pernah kupermasalahkan lagi. Aku sekarang pandai mencari kesibukanku sendiri. Hanya satu hal itu saja yang masih tak bisa kuterima; kau yang masih dibayangi masa lalumu.

Jujur sampai saat ini aku masih berharap kau akan memberi tanggapan. Aku berharap ada jawaban. Aku ingin tahu apa yang kini kau rasakan? Apakah dugaanku benar? Yang masih kau rindukan itu adalah dia, bukan aku, apakah itu benar? Aku ingin kau memastikannya dan berkata tidak. Aku masih berharap ada jawaban tentang bagaimana kau membalas perasaanku. Namun, bukankah tidak ada jawaban juga merupakan sebuah jawaban? Seharusnya aku mengerti, jawabannya cukup jelas; kau tak lagi peduli. Harusnya aku paham betul kapan harus berhenti menunggu dan peduli. Namun hati ini tak pernah menurut untuk bisa kuajak berkompromi. Ia bersikeras dengan kebodohannya sendiri.

Ingin rasanya aku dan kau diberi waktu berdua lagi. Bicara dari hati ke hati. Tapi sudahlah. Mungkin sebaiknya memang kita begini, saling memendam semuanya sendiri. Semoga Tuhan tak pernah lelah menjadi perantara saat aku tak bisa langsung bicara.

Jika kita diberikan kesempatan lagi untuk bertemu, ada begitu banyak hal yang ingin kusampaikan padamu. Namun aku yakin, pasti ujung-ujungnya yang keluar nanti hanya pertanyaan "apa kabar?" lalu kita sama-sama diam atau sekadar mengomentari orang-orang sekitar sampai akhirnya kita pulang. Seperti yang kau tahu, aku tak pernah cukup baik dalam menyampaikan perasaan. Ketika aku baru ingin mulai belajar, kau abai dan seolah tak mau lagi mendengar. Pada akhirnya kutahan lagi semua perasaan itu untukku sendiri. Aku ingin mencoba. Aku ingin menghubungimu lagi dan jujur sekali lagi tentang perasaanku sendiri, namun jika akhirnya hanya akan diabaikan lagi, mungkin baiknya memang kuurungkan saja niatku tadi.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

#BukaBuku: "Three Days Of Happiness" by Miaki Sugaru

Gimana ceritanya keterima di Zeni? [Part 1]

#10 — Ruang Tunggu